Klikata.co.id|Bukittinggi|Kemerdekaan pers merupakan salah satu pilar penting dalam menjaga demokrasi dan kebebasan berpendapat. Dalam masyarakat yang bebas dan demokratis, pers memiliki peran vital sebagai pengawas kekuasaan (watchdog) yang dapat mengkritisi kebijakan pemerintah, mengungkap korupsi, dan memberikan informasi yang obyektif serta berimbang kepada publik. Namun, tantangan terbesar bagi kemerdekaan pers adalah hegemoni kekuasaan yang berusaha mengontrol, membungkam, atau memanipulasi media massa untuk kepentingan tertentu.
Tentu hegemoni kekuasaan ini bisa menjadi alarm bahaya bagi kemerdekaan pers. Berbagai rangkaian peristiwa yang telah dialami oleh insan pers di Indonesia. Mereka diancam, intimidasi, sampai kehilangan nyawa karena pemberitaan. Sebut saja Udin, wartawan harian bernas di Yogyakarta, dibunuh karena memberitakan kasus dugaan korupsi, 16 Agustus 1996. AA Prabangsa, wartawan Radar Bali, tewas di pelabuhan Padang Bai, 16 Fenruari 2009, kasus sampai ke pengadilan, dan Nyoman Susrama selaku pelaku pembunuh dihukum 20 tahun penjara. Tentu publik juga mengingat jurnalis Ersa Siregar, tewas dalam peliputan konflik Aceh, dan sederet jurnalis lainnya yang meregang nyawa karena meliput pemberitaan. Belum lagi pelaporan jurnalis dalam ranah pidana UU ITE sebagai ancaman nyata dan menjadi awan hitam kemerdekaan pers.
Untuk saat ini, bagaimana dengan kondisi kemerdekaan pers Kota Bukittinggi? Apakah jurnalis telah ikut merawat kemerdekaan pers tersebut? Atau malah sebaliknya? Kondisi kemerdekaan pers Bukittinggi sedang berada pada titik nadir dan berada ditepi jurang Ngarai Sianok. Fungsi pers sebagai sosial kontrol telah beralih sebagai pers peliput seremonial. Siapa yang akan mengontrol kebijakan publik, dan kekuasaan?
Rocky Gerung, akademikus dan tokoh filsafat, berpendapat tentang jurnalis Sumatera Barat khususnya Bukittinggi. Berikut kutipan argumentasi Rocky Gerung terkait kemerdekaan Pers.
"Semua pikiran kritis bangsa sebetulnya disumbangkan paling banyak oleh jurnalis. Kita tahu Agus Salim, dia penulis sangat kritis dan tajam dalam tentang kebijakan publik, Buya Hamka, Mocthar Loebis, Rosian Anwar yang sangat tajam dalam mengejek pemerintahan, dengan kekuatan logika. Rohana Kudus, jurnalis perempuan yang menulis tentang bukti kejahatan kolinial. Kita ingatkan bahwa dari Bukittinggi, pikiran kritis yang ditulis dengan pena tajam adalah asal usul kemerdekaan pikiran. Sekarang mungkin ada sedikit defisit, keenganan untuk menulis kritis karena takut pada kekuasaan. Tetapi sekali lagi, anda hanya disebut jurnalis karena menulis kritis, menulis bertentangan dengan prisnsip-prinsip kekuasaan. Jadi, ganggulah kekuasaan itu dengan pena anda. Ganggulah kekuasaan dengan kalimat-kalimat anda. Kami akan membaca kendati itu disembunyikan, dijendela lain kita akan tahu bahwa dari Bukittinggi akan ada jurnalis yang bermutu"Ujar Rocky Gerung
Merawat Kemerdekaan Pers Bukittinggi
Sikap kritis jurnalis dalam ruang publik Kota Bukittinggi menjadi perlawanan oleh kelompok penguasa. Salah satunya terjadi pada media klikata.co.id, yang dilaporkan ke kepolisian terkait pemberitaan. Upaya pembungkaman ini tentu ada maksud tertentu. Tergangunya kekuasaan dan rusaknya citra penguasa diranah publik adalah bentuk kerugian dalam politik. Upaya-upaya menghadirkan media tandingan bentuk langkah mengaburkan fakta. Pengangkangan kaidah jurnalistik tidak jadi soal, siapa yang peduli? Defisitnya keberanian pers Bukittinggi juga patut dipertanyakan.
Berpedoman dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (disingkat UU Pers) adalah regulasi di Indonesia yang mengatur tentang kebebasan pers, hak dan kewajiban jurnalis, serta tanggung jawab media. Pers berfungsi sebagai pengawas terhadap tindakan pemerintah dan institusi lainnya.
Melalui investigasi dan pelaporan, media dapat mengungkap penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan praktik tidak etis lainnya. Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menekankan bahwa pers berfungsi untuk memberikan informasi, mendidik masyarakat, dan menjalankan kontrol sosial. Ini menunjukkan bahwa peran pers dalam mengawasi dan memberikan suara kepada masyarakat adalah suatu kewajiban. Tidak hanya itu, fungsi sosial kontrol oleh pers sangat penting untuk kepentingan publik. Media dapat membantu menyebarluaskan informasi yang diperlukan agar masyarakat dapat membuat keputusan yang terinformasi dan berpartisipasi dalam proses demokrasi. Untuk menjalankan fungsi sosial kontrol ini, jurnalis harus dilindungi oleh hukum dari ancaman dan intimidasi. Undang-undang harus menjamin kebebasan pers agar jurnalis dapat melaksanakan tugasnya dengan aman.
UU ini dirancang untuk menjamin kemerdekaan pers sebagai pilar demokrasi, melindungi hak publik atas informasi, dan mencegah campur tangan pihak mana pun, termasuk pemerintah, dalam kebebasan pers. Namun titik nadir kemerdekaan pers yang paling terendah adalah takut pada kekuasaan. Selain ketakutan pada kekuasaan, jurnalis juga disibukan mencari pendapatan industrial ketimbang melakuan fungsinya dalam sosial kontrol kekuasaan tersebut. Berbagai upaya atau kerjasama pemberitaan dilakukan oleh pengusaa, dan informasi yang dihasilkan akan tersebar dalam ruang publik seperti polesan lipstik pada wanita uzur. Defisit keberanian ini bukan isapan jempol belaka. Semua terjadi karena ada hukum sebab dan akibat. Proses lahirnya seorang jurnalis tidak lagi dalam mekansime profesi sebagaimana mestinya.
Kembali lagi tentang hegemoni kekuasaan terhadap kemerdekaan Pers. Dampak buruk hegemoni kekuasaan terhadap kemerdekaan pers sangatlah nyata dan mengancam integritas sistem informasi dalam masyarakat. Untuk menjaga kemerdekaan pers Kota Bukittinggi, penting untuk melawan segala bentuk pengekangan dan mendukung media yang melakukan sosial kontrol dalam amanat UU pokok Pers No.40 tahun 1999.
Upaya pembatasan terhadap kebebasan berbicara dan berpendapat dalam ruang publik bentuk perlawanan terhadap kemerdekaan pers itu sendiri. Lebih parahnya, jurnalis yang mengirim link berita dalam group whatsapp bisa menjadi alasan pelaporan pada pihak berwajib. Tentu pelaporan ini bertujuan agar suara-suara yang berseberangan dengan kepentingan penguasa bisa dibungkam. Apalagi kecendrungan penggunaan media sebagai alat propaganda yang seharusnya berfungsi sebagai pengawas berubah menjadi alat untuk menyebarkan narasi yang menguntungkan penguasa, mengabaikan fakta-fakta yang tidak sesuai.
Sebagaimana contoh kondisi buruknya tata kelola pemerintahan Kota Bukittinggi dalam pengelolaan APBD 2024 yang berdampak defisit, namun narasi media yang digunakan sebagai alat propaganda informasi menyampaikan sebaliknya bahwa tata kelola pemerintahan jauh lenih baik. Tentu dampak ini menjadi krisis kepercayaan publik ketika media dipandang sebagai alat kekuasaan, kepercayaan publik terhadap jurnalis akan menurun. Masyarakat menjadi skeptis terhadap informasi yang disampaikan, sehingga sulit untuk membangun dialog yang konstruktif.
Diamnya jurnalis dalam hegemoni kekuasaan bukan tanpa alasan. Dasar hubunghan industrial, baik dalam bentuk pemberitaan maupun kepentingan lainnya menjadi pertimbangan untuk tidak bersikap kritis. Selain itu, kesejahteraan jurnalis menjadi kerentanan dan berpotensi menyalahgunakan fungsi pers diruang publik. Kondisi industrial pers tidak berbanding lurus seperti industrial besar lainnya. Tentu situasi ini berdampak pada informasi yang dihasilkan oleh jurnalis tersebut. Letak garis api antara industrial dan jurnalis semakin jauh panggang dari api. Menghindari kontradiksi kepentingan media dalam menyampaikan informasi terhadap kinerja penguasa akan menjadi ilusi dan cendrung mengaburkan fakta. Pemberitaan yang seharusnya menjadi hak publik yang relevan dan akurat berubah menjadi kepentingan. Untuk menghindari kondisi ini, Idealnya jurnalis harus selalu memprioritaskan integritas, transparansi, dan etika dalam setiap kolaborasi untuk menjaga kepercayaan publik.
Merawat kemerdekaan pers itu sangat penting. Lahirnya UU Pokok Pers No.40 Tahun 1999 melalaui proses yang panjang. Kemerdekaan pers hari ini adalah bentuk perjuangan para jurnalis yang telah rela berkoban dalam menghadirkan informasi publik dan menjalankan fungsi sosial kontrol. Disisi lainnya, bisnis media adalah bisnis kepercayaan. Percayalah, apabila ada manipulasi dalam informasi yang disampaikan, selain menciptakan informasi menjadi sampah digital, media tersebut akan ditinggalkan publik.
Jurnalis :RJA