Pilkada 2024 tak hanya menjadi ajang perebutan kekuasaan, namun juga ujian bagi kematangan pengelolaan keuangan daerah. Setiap janji politik yang dilontarkan calon kepala daerah sering kali terlihat memukau, dengan narasi pembangunan yang menjanjikan kemakmuran bagi rakyat. Namun, di balik retorika tersebut, ada tantangan besar yang harus dihadapi: bagaimana menyeimbangkan antara janji politik dan kondisi fiskal daerah yang sebenarnya. Banyak daerah, terutama yang bergantung pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terbatas, menghadapi tekanan besar akibat penurunan pendapatan dan defisit anggaran. Ketika PAD menurun drastis, daerah semakin bergantung pada transfer dana dari pemerintah pusat, sementara belanja daerah, terutama menjelang Pilkada, cenderung meningkat tanpa diiringi dengan perencanaan yang matang. Hal ini memunculkan pertanyaan mendasar: sejauh mana janji pembangunan yang diusung calon kepala daerah mampu menjawab realitas fiskal di lapangan?
Kondisi ini semakin diperburuk oleh fenomena political business cycle, di mana pengeluaran publik cenderung meningkat menjelang Pilkada demi kepentingan politik jangka pendek. Proyek-proyek populis, seperti pembangunan infrastruktur skala kecil atau peningkatan tunjangan pegawai, sering kali diluncurkan tanpa perencanaan yang komprehensif, hanya untuk mendongkrak citra politik calon petahana. Padahal, tanpa perencanaan yang matang dan berbasis data, peningkatan belanja tersebut hanya akan memperparah defisit anggaran yang sudah membebani banyak daerah. Sebaliknya, keberlanjutan pembangunan jangka panjang menjadi terancam karena alokasi anggaran lebih terfokus pada proyek sesaat daripada program-program strategis yang dapat memperbaiki struktur ekonomi daerah. Pilkada 2024, dengan segala janji politiknya, seharusnya menjadi momen bagi para calon kepala daerah untuk lebih berfokus pada solusi jangka panjang yang mampu menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi lokal dan keberlanjutan fiskal daerah.
Penurunan PAD dan Ketergantungan pada Dana Transfer
Data menunjukkan bahwa banyak daerah di Indonesia mengalami penurunan PAD dalam beberapa tahun terakhir. Menurut Kementerian Keuangan, kontribusi PAD terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) rata-rata masih rendah, hanya berkisar 25-30% dari total pendapatan daerah. Kondisi ini diperburuk oleh ketergantungan yang besar pada dana transfer dari pemerintah pusat, seperti Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Di beberapa daerah, termasuk Sumatera Barat, PAD bahkan mengalami penurunan hingga 10% di tahun 2023 akibat penurunan kinerja sektor pariwisata dan perdagangan.
Dalam konteks Pilkada, penurunan PAD ini menjadi ancaman serius. Ketika PAD menurun, kemampuan daerah untuk mandiri dalam membiayai program pembangunan juga tergerus. Di sisi lain, belanja daerah yang terus meningkat, terutama untuk belanja pegawai dan belanja modal, memicu peningkatan defisit anggaran. Defisit ini kemudian menjadi salah satu tantangan terbesar yang harus dihadapi oleh para calon kepala daerah yang bersaing di Pilkada 2024.
Defisit Anggaran: Krisis yang Diperburuk oleh Pilkada
Salah satu dampak paling nyata dari lonjakan belanja yang tidak terkendali adalah meningkatnya defisit anggaran. Menurut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), beberapa daerah di Indonesia, termasuk kota-kota besar seperti Bukittinggi dan Padang, telah mengalami defisit anggaran yang cukup signifikan selama beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2023, Bukittinggi mencatat defisit anggaran sebesar Rp44,46 miliar, sebagian besar akibat penurunan PAD dan peningkatan belanja pegawai.
Defisit anggaran ini menimbulkan berbagai konsekuensi serius bagi keberlanjutan pembangunan daerah. Pertama, pemerintah daerah harus mengambil langkah-langkah darurat untuk menutupi defisit, seperti melakukan pinjaman atau menunda pembayaran utang. Kedua, defisit anggaran dapat menyebabkan penurunan kualitas layanan publik, seperti pendidikan dan kesehatan, karena dana yang tersedia semakin terbatas. Ketiga, defisit yang tidak terkendali akan memperburuk ketergantungan daerah pada dana transfer dari pusat, yang pada akhirnya dapat mengikis otonomi daerah dalam menentukan kebijakan pembangunan.
Di tengah Pilkada 2024, defisit anggaran ini menjadi isu yang krusial. Para calon kepala daerah tidak hanya harus menghadapi tantangan politik untuk meraih dukungan pemilih, tetapi juga harus mampu menawarkan solusi konkret untuk mengatasi defisit anggaran yang mengancam keberlanjutan pembangunan daerah.
Solusi di Tengah Krisis Keuangan Daerah
Mengatasi defisit anggaran di tengah penurunan PAD dan peningkatan belanja daerah membutuhkan kebijakan yang komprehensif dan berkelanjutan. Pertama, pemerintah daerah harus fokus pada diversifikasi sumber-sumber PAD. Selama ini, banyak daerah masih bergantung pada sektor-sektor tradisional seperti pajak kendaraan bermotor dan pajak hotel. Pemerintah daerah harus mulai berinovasi dengan mengembangkan sektor-sektor ekonomi kreatif, pariwisata, dan teknologi, yang memiliki potensi besar untuk meningkatkan PAD.
Kedua, belanja daerah harus lebih berorientasi pada pembangunan yang berkelanjutan daripada sekadar proyek-proyek populis jangka pendek. Misalnya, belanja modal untuk pembangunan infrastruktur harus didasarkan pada kajian kebutuhan yang matang, bukan hanya untuk memuaskan pemilih. Peningkatan belanja pendidikan dan kesehatan, yang sering kali terabaikan menjelang Pilkada, harus menjadi prioritas utama bagi setiap kepala daerah yang terpilih.
Ketiga, pengelolaan fiskal yang lebih disiplin dan transparan juga sangat diperlukan. Pemerintah daerah harus mampu menjaga keseimbangan antara pendapatan dan belanja, serta menghindari defisit anggaran yang berkelanjutan. Penguatan kapasitas pengawasan oleh Badan Pemeriksa Keuangan Daerah (BPKD) dan lembaga pengawas lainnya sangat penting untuk mencegah kebocoran anggaran dan praktik korupsi.
Pilkada 2024 seharusnya menjadi momen penting bagi para calon kepala daerah untuk menghadirkan solusi-solusi konkret terhadap tantangan keuangan yang dihadapi daerah. Penurunan PAD dan peningkatan belanja daerah bukanlah masalah yang dapat diselesaikan dengan janji-janji politik belaka, melainkan membutuhkan kebijakan fiskal yang realistis dan berorientasi pada pembangunan berkelanjutan. Jika tidak dikelola dengan baik, defisit anggaran yang terus membengkak dapat menjadi ancaman serius bagi kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan pembangunan daerah.
Pada akhirnya, pilihan ada di tangan masyarakat. Apakah mereka akan memilih calon pemimpin yang menawarkan solusi jangka panjang untuk mengatasi krisis keuangan daerah, ataukah mereka akan terjebak pada retorika politik yang hanya mementingkan kepentingan jangka pendek? Pilkada 2024 adalah ujian besar bagi masa depan pembangunan daerah di Indonesia.
#Defisit #APBD #Anggaran #Bukittinggi #Inflasi #Pilkada