Di panggung politik lokal, sosok incumbent sering kali tampil sebagai pahlawan pembangunan, mengklaim berbagai pencapaian gemilang selama masa jabatannya. Namun, di balik gemerlap sorotan prestasi, ada satu pertanyaan yang menggelitik: Apakah sang pemimpin benar-benar pencipta perubahan, atau hanya pengelola warisan dari program-program yang sudah ada?
Mari kita mulai dengan sebuah skenario yang sering kita temui. Seorang kepala daerah incumbent sedang bersiap menghadapi Pilkada. Poster kampanye menghiasi jalanan, memamerkan sederet klaim prestasi, dari pembangunan infrastruktur besar hingga program sosial yang terlihat menyentuh masyarakat. Semua tampak begitu sempurna. Namun, bila kita menelisik lebih jauh, banyak dari klaim tersebut sebenarnya hanyalah hasil dari kelanjutan program pemerintah pusat atau proyek yang sudah digagas oleh pemimpin sebelumnya. Maka, kita perlu bertanya, apakah ini benar-benar kepemimpinan yang inovatif atau sekadar pengelolaan yang baik dari sesuatu yang sudah diatur oleh pusat?
Strategi Ampuh: Memoles Warisan
Dalam politik, seni mengklaim prestasi bukan hal baru. Namun, beberapa incumbent tampaknya telah menyempurnakan seni ini menjadi lebih canggih. Mereka tahu bahwa masyarakat mudah terpesona oleh jalan raya yang mulus, jembatan megah, atau pabrik yang baru dibuka. Meskipun proyek-proyek ini sering kali dimulai bertahun-tahun sebelumnya, atau merupakan bagian dari program pemerintah pusat, sang incumbent dengan gesit mengambil alih kredit. Lalu, melalui strategi komunikasi yang licik dan bantuan spanduk kampanye yang meyakinkan, publik pun dibujuk untuk percaya bahwa semua itu adalah hasil kerja keras sang pemimpin.
Contoh klasik bisa dilihat pada proyek infrastruktur yang didanai pemerintah pusat. Misalnya, ketika sebuah jalan tol selesai dibangun di wilayah tertentu, tiba-tiba sang incumbent muncul di hadapan kamera, dengan senyum penuh kebanggaan. Masyarakat disuguhi narasi bahwa pembangunan ini adalah "hasil usaha keras" kepemimpinan lokal, padahal dana, rancangan, hingga pelaksanaannya diatur oleh pusat. Namun, di mata masyarakat, kenyataannya bisa kabur. Ketika jalan raya dibuka, yang mereka ingat adalah nama sang kepala daerah, bukan nama kementerian yang mengurus proyek tersebut. Itulah seni klaim prestasi dalam bentuknya yang paling halus.
Keajaiban Klaim Proyek yang Tertunda
Lalu, ada pula fenomena menarik di mana proyek-proyek yang tertunda atau mandek dari periode sebelumnya, tiba-tiba selesai tepat saat incumbent akan mencalonkan diri kembali. Proyek-proyek yang selama bertahun-tahun tak kunjung rampung, mendadak selesai dalam hitungan bulan menjelang Pilkada. Kita bisa bayangkan sang incumbent yang telah bertahun-tahun mengabaikan pembangunan pasar atau jembatan di wilayahnya, kini dengan bangga memotong pita peresmian, sembari menambahkan slogan, "Inilah bukti komitmen saya untuk kemajuan daerah." Padahal, proyek tersebut sebenarnya sudah dirancang dan dikerjakan oleh kepala daerah sebelumnya, hanya tinggal sedikit sentuhan akhir.
Dalam dunia politik, ada istilah yang sering disebut "pemotong pita profesional". Ya, mereka adalah para pemimpin yang tidak peduli siapa yang merancang atau menggarap proyek, selama mereka bisa tampil di momen peresmiannya dan berpose di depan kamera. Foto itu kemudian menghiasi media massa dan selebaran kampanye, menciptakan ilusi seolah-olah semua proyek tersebut adalah hasil kerja keras mereka sejak hari pertama menjabat. Padahal, di balik layar, yang mereka lakukan hanyalah menyelesaikan setengah pekerjaan yang sudah dimulai orang lain.
Efek Bumerang: Mengklaim Warisan, Tapi Gagal Merawatnya
Namun, seni klaim prestasi ini tidak selalu berakhir mulus. Ada kalanya warisan yang diklaim justru menjadi bumerang. Contohnya, ketika sebuah program besar dari pusat berjalan sukses pada awalnya, tapi gagal dirawat dan dikelola dengan baik oleh sang incumbent. Kita bisa melihat banyak contoh di mana infrastruktur yang dibangun oleh pemerintah pusat menjadi terbengkalai setelah peresmiannya, atau program sosial yang dulu begitu membanggakan berubah menjadi proyek mangkrak yang tak lagi memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.
Misalnya, ketika sang kepala daerah dengan bangga meresmikan pasar tradisional baru yang dibangun dengan dana pusat. Namun, beberapa tahun kemudian, pasar tersebut dibiarkan tanpa perawatan, dan para pedagang mulai mengeluh tentang fasilitas yang rusak. Sang incumbent mungkin berkilah bahwa mereka sudah "membawa pembangunan", tapi masyarakat yang merasakan dampaknya tahu betul bahwa pembangunan tanpa perawatan hanyalah fatamorgana. Inilah titik di mana seni klaim prestasi mulai kehilangan pesonanya.
Pada akhirnya, masyarakat perlu lebih jeli dalam menilai para pemimpin mereka. Apakah calon kepala daerah yang berdiri di hadapan kita benar-benar seorang pemimpin visioner yang memiliki ide-ide besar dan inovasi untuk masa depan? Ataukah dia hanyalah seorang pengelola warisan yang pandai memoles hasil kerja orang lain dan memanfaatkan program pusat untuk kepentingan kampanye pribadi?
Politik lokal sering kali penuh dengan janji-janji muluk dan klaim prestasi yang gemerlap. Tapi, di tengah semua itu, penting bagi kita untuk mempertanyakan siapa yang benar-benar layak disebut sebagai pemimpin. Apakah seorang pemimpin adalah mereka yang berani menciptakan perubahan dari nol, atau cukup hanya menjadi pengelola yang baik dari apa yang sudah diwariskan oleh pendahulu atau pusat?
Seni klaim prestasi memang bukan hal baru dalam politik, tapi di era informasi seperti sekarang, masyarakat memiliki akses untuk menelusuri fakta di balik klaim tersebut. Jadi, saat pemilu tiba dan poster-poster kampanye terpampang di jalanan, ingatlah satu hal: tak semua prestasi yang diklaim adalah hasil kerja keras pemimpin yang tampil di depan Anda.
#Warisan #Pilkada #Daerah #Indonesia #Petahana #Politik #Lokal #Informasi