Klikata.co.id|Bukittinggi, kota yang dikenal sebagai ikon wisata dan sejarah Sumatera Barat, dan Agam, kabupaten dengan potensi agrikultur dan pariwisata yang melimpah, sering kali dianggap sebagai dua entitas yang terpisah. Meski saling melengkapi secara geografis dan historis, dalam praktik pembangunan, keduanya tampak berjalan sendiri-sendiri, seakan terpisah oleh tembok administratif dan ego sektoral. Pada era yang menuntut kolaborasi lintas batas, bagaimana mungkin dua wilayah yang saling bergantung ini masih tersendat oleh sekat-sekat birokrasi? Mengapa sinergi yang seharusnya mudah dijalin justru dihambat oleh kepentingan lokal yang sempit?
Selama ini, Bukittinggi sering kali dianggap sebagai pusat perkembangan ekonomi dan pariwisata, sementara Agam diposisikan sebagai pendukung dari sektor agrikultur dan penyedia bahan mentah. Ketimpangan ini memperlihatkan bagaimana perencanaan pembangunan yang tidak terpadu telah menciptakan ketidakseimbangan. Pembangunan infrastruktur lebih banyak terpusat di Bukittinggi, sementara banyak kawasan di Agam masih tertinggal, dengan akses transportasi yang minim dan layanan publik yang belum memadai.
Sebagai contoh, sektor pariwisata Bukittinggi, yang sangat bergantung pada atraksi alam dan budaya di Agam, kerap mengabaikan kontribusi kabupaten tetangga ini. Akses menuju destinasi seperti Danau Maninjau dan objek wisata lain di Agam seringkali tidak mendapat perhatian yang sama dengan perawatan destinasi di Bukittinggi. Ini tidak hanya menciptakan ketidakadilan ekonomi, tetapi juga memicu kecemburuan sosial yang memperdalam jurang ketidaksetaraan.
Lebih dari itu, sektor perdagangan Bukittinggi yang semarak berkat komoditas pertanian dari Agam tidak diimbangi dengan kebijakan yang mendukung petani lokal. Harga komoditas yang tidak stabil, minimnya akses pasar yang adil, dan kurangnya inovasi dalam pengolahan hasil pertanian adalah gambaran nyata dari ketidakberdayaan Agam di bawah dominasi ekonomi Bukittinggi. Padahal, integrasi yang efektif dapat meningkatkan kesejahteraan kedua wilayah, tidak hanya memperkaya satu pihak.
Birokrasi dan Kepentingan Politik: Penghalang Sinergi yang Nyata
Salah satu kendala terbesar dalam integrasi Bukittinggi dan Agam adalah perbedaan dalam struktur birokrasi dan kepentingan politik yang sering kali berbenturan. Di Bukittinggi, yang dikenal sebagai kota wisata, pemerintah daerah berfokus pada pengembangan infrastruktur yang ramah bagi wisatawan. Hotel-hotel, pusat perbelanjaan, dan aksesibilitas transportasi menjadi prioritas utama. Sementara itu, Agam, yang lebih didominasi sektor pertanian, masih berkutat dengan permasalahan klasik seperti akses modal yang terbatas, teknologi pertanian yang ketinggalan zaman, dan kurangnya dukungan pasar bagi produk lokal. Perbedaan fokus ini menunjukkan betapa kontrasnya arah pembangunan kedua daerah yang seharusnya saling melengkapi, namun malah berjalan sendiri-sendiri.
Akar permasalahan integrasi antara Bukittinggi dan Agam tidak hanya terletak pada koordinasi yang buruk, tetapi juga pada ego politik yang menonjol dan visi pembangunan yang sering kali tidak sejalan. Para pemimpin daerah terjebak dalam persaingan politik yang membuat mereka lebih berfokus pada upaya mempertahankan kekuasaan daripada mendorong kolaborasi yang sesungguhnya. Ketika para pemangku kepentingan lebih sibuk mempertahankan jabatan, retorika kerja sama antardaerah yang sering digembar-gemborkan pada berbagai forum rapat, hanya berakhir sebagai sekadar formalitas. Tidak adanya sinergi yang konkret membuat potensi besar kedua daerah tersebut tak tergarap secara optimal.
Lebih jauh lagi, ketidakseimbangan prioritas pembangunan ini memperlihatkan minimnya komitmen politik dari para pemimpin lokal untuk menuntaskan isu-isu yang seharusnya bisa diatasi melalui pendekatan kolaboratif. Bukittinggi dan Agam sebenarnya memiliki potensi besar jika mampu bersinergi; pariwisata Bukittinggi dapat mendukung promosi produk pertanian Agam, sementara hasil pertanian berkualitas dapat menjadi daya tarik tambahan bagi wisatawan. Namun, tanpa adanya upaya serius dalam menjembatani perbedaan kepentingan dan mengintegrasikan visi pembangunan, potensi ini hanya menjadi angan-angan yang terus terhambat oleh persoalan birokrasi dan politik yang berlarut-larut.
Pada akhirnya, integrasi pembangunan antara Bukittinggi dan Agam membutuhkan lebih dari sekadar perencanaan di atas kertas; diperlukan komitmen politik yang kuat dan kesediaan untuk meleburkan ego sektoral demi kepentingan yang lebih luas. Para pemimpin daerah perlu menggeser fokus dari ambisi pribadi ke arah kemitraan yang dapat menghasilkan keuntungan bersama. Tanpa perubahan mendasar dalam pola pikir dan praktik politik, integrasi yang sesungguhnya akan tetap menjadi wacana mandek. Upaya untuk menyatukan dua entitas yang berbeda ini memerlukan tidak hanya strategi yang matang, tetapi juga keberanian untuk melangkah keluar dari zona nyaman politik masing-masing, menuju sinergi yang lebih berkelanjutan.
Strategi Baru: Menggugat Model Pembangunan yang Mandek
Untuk mewujudkan masa depan yang lebih terintegrasi antara Bukittinggi dan Agam, diperlukan strategi pembangunan yang berani dan inovatif, yang berani menggugat model lama yang hanya menguntungkan satu pihak. Salah satu langkah konkret yang bisa diambil adalah pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) bersama yang mencakup kedua wilayah, dengan fokus pada sektor pariwisata dan industri kreatif yang memanfaatkan keunggulan alam dan budaya lokal. KEK ini tidak hanya menjadi mesin penggerak ekonomi, tetapi juga wadah untuk menyatukan kepentingan kedua wilayah dalam satu visi pembangunan.
Penting juga untuk mengadopsi pendekatan pembangunan yang lebih inklusif, di mana masyarakat setempat dilibatkan secara aktif dalam proses perencanaan dan pelaksanaan. Program pemberdayaan yang berfokus pada peningkatan kapasitas warga, baik dalam pengelolaan pariwisata maupun pertanian, bisa menjadi langkah konkret untuk memastikan bahwa manfaat integrasi ini dirasakan oleh semua pihak, bukan hanya oleh segelintir elit politik dan ekonomi.
Masa depan Bukittinggi dan Agam sebagai wilayah yang terintegrasi tidak akan terwujud tanpa keberanian untuk memotong egoisme sektoral dan kepentingan politik jangka pendek. Sinergi ini bukan sekadar jargon, melainkan kebutuhan mendesak untuk menghadirkan kesejahteraan yang merata. Bukittinggi dan Agam tidak boleh lagi berjalan sendiri-sendiri; mereka harus saling menggandeng tangan, menatap masa depan yang lebih cerah dengan langkah yang kompak dan visi yang searah.
Integrasi pembangunan Bukittinggi dan Agam adalah soal keadilan ekonomi, efisiensi birokrasi, dan keberlanjutan sosial. Jika keduanya bisa melepas ego sektoral dan bersatu dalam visi bersama, masa depan yang lebih sejahtera dan berkeadilan bukan lagi sekadar impian. Namun jika tetap terbelenggu dalam sekat-sekat administratif dan kepentingan politik, sinergi yang diharapkan tak lebih dari ilusi yang memudar di balik hiruk-pikuk pembangunan yang timpang dan tak merata.
#Kota #Pembangunan #Ekonomi #APBD #Ruang #Pemimpin #Bukittinggi