"Maksud baik saudara untuk siapa", demikianlah penggalan puisi W.S Rendra dalam sajak pertemuan mahasiswa. Sajak yang masyhur karya Rendra itu, agaknya tepat untuk kembali kita lontarkan, terutama dalam musim rusuh pasca pemilu dan menjelang pilkada ini. Dalam realitas politik, pada kontestasi politik lima tahunan, warga negara atau rakyat tak lebih posisinya dari sekedar komoditas politik. Dalam kontestasi lima tahunan itu juga, seperti Pilkada yang akan datang, berbagai tawaran dalam bentuk visi-misi dan janji kampanye bertebaran memenuhi sudut jalan dan benak warga kota. Ide tentang perbaikan fasilitas, pembenahan tata ruang, hingga pembangunan ulang tak pernah luput dari bibir politisi yang sedang mempengaruhi konstituennya.
Dalam konteks Pilkada, perencanan pembangunan dan pembangun kota adalah topik yang bagus untuk kita bicarakan, sebab hal ini berhubungan langsung dengan warga kota dan juga menyangkut kepentingan banyak orang. Pada dasarnya pembangunan direncanakan dengan tujuan dan rencana yang terstruktur. Seorang kepala keluarga jelas membangun rumah dengan tujuan anggota keluarganya mendapat hunian yang layak dan nyaman, namun apakah seorang kepala daerah sudah melakukan pembangunan dengan tujuan kemaslahatan warganya? Inilah mengapa penting bagi kita untuk bertanya "maksud baik saudara untuk siapa?". Kenapa pembangunan kota rentan memicu penolakan? Kenapa pembangunan kota acap kali merenggut hak-hak warganya?, pertanyaan-pertanyaan ini semakin memperkuat keraguan kita tentang maksud baik pembangunan.
Berkaca dari pembangunan kota pada masa kolonial, salah satunya adalah Batavia dengan segala perencanaan dan fasilitasnya yang diperuntukan sebagai kota Central. Pada perencanaan pembangunan, daya tampung kota Batavia disiapkan untuk 900.000 jiwa saja. Namun pada akhirnya membludak menjadi 1.200.000 jiwa, kepadatan penduduk ini terjadi sebab urbanisasi warga sekitar Batavia sehingga kapasitas kota tidak bisa menampung, perlu kita cermati angka 900.000 itu adalah tanda bahwa kota Batavia dibangun untuk kepentingan bisnis dan pemukiman orang kulit putih. Begitu juga dengan Surabaya yang pada awalnya adalah pemukiman Eropa diarea kanal dan pantai, berkembang menjadi kota sebab kebutuhan pemukiman eropa turut meningkat. Dari kedua contoh itu kita berkesimpulan, bahwa maksud baik pembangunan kedua kota itu adalah untuk kepentingan orang eropa. Kembali kita bertanya "maksud baik saudara untuk siapa?"
Pada masa ore baru, pembangunan juga acap kali menimbulkan korban, pembangunan Waduk Nipah, di Sampang, Madura, misalnya, turut merenggut nyawa petani. Peristiwa ini dikenal dengan peristiwa Nipah Berdarah, rentetan timah panas yang ditembakkan oleh ABRI kepada barisan petani yang berunjuk rasa sebab lahan mereka terancam ditenggelamkan. Masa aksi yang datang untuk meminta pembatalan pengukuran tanah untuk waduk itu, dihadiahi timah panas dari jarak 200 m. Hal ini berdasarkan dari analisa KH. Ali Jauhari dan didukung oleh analisa Tim Pencari Fakta (TPF) dari LBH Surabaya. 3 orang petani meninggal ditempat, dan 1 lainnya meninggal di rumah sakit, Muthirah (51th), Simuki (30th), Nindin (14th) dan Muhammad (30th). Peristiwa ini juga mendapat amuk dari PBNU yang diketuai oleh Alm. Gus Dur, dalam penyataan Gus Dur menyampaikan "Inilah pemerintah kalau bikin proyek, ga pernah mau mendengarkan rakyat, ini kan negosiasi belum selesai, orang masih menuntut harga tanah yang layak" ucap Gus Dur.
Kembali pada konteks hari ini, pernahkah kita bertanya dengan sungguh-sunnguh, untuk siapa maksud baik pembangunan kota ini ditujukan, atau pada pertanyaan lebih mendalam, apakah pembangunan kota itu memiliki maksud baik?. Deretan fenomena pembangunan dilapangan memberikan suatu gambaran pada kita, semisal pembangunan pusat kuliner disalah satu kota di Sumatera Barat, sentralisasi kuliner itu syarat akan kepentingan, lapak-lapak strategis dikawasan itu sudah jelas tuannya jauh sebelum pembangunannya selesai, terbukti ketika pembangunan rampung tempat-tempat itu diserahkan kepada kolega dan pengusaha yang mendukung usaha Wali Kota dalam agenda politik dan kekuasaannya. Masyarakat dengan modal minim yang terpaksa berjualan didalam sebab tak boleh lagi berjualan diluar, kalah saing dengan pemilik modal dan pada akhirnya berada dijurang keputus asaan.
Fenomena seperti inilah yang rentan kita temui dalam banyak agenda pembangunan kota. Mestikah demi keindahan, kemajuan, dan kepentingan sekelompok orang, warga kota mesti terasingkan?. Mestikah dalam gelap kota dimalam hari warganya menderita kesunyian yang beberda? Ini adalah suatu seruan kepada manusia yang tengah berebut kuasa, Maksud baik saudara untuk siapa?
#Demokrasi #Baik #Saudara #Siapa